Telah lama saya mendengar tentang sejarah Aceh-Malaka, dan
kini keinginan untuk melihat kota taklukan Indatu Raja Iskandar Muda telah tak
terbendung. Perjalanan dari Kuala Lumpur ke Malaka saya lalui dengan
menggunakan bus yang memakan waktu dua jam perjalanan. Pada saat memasuki kota
ini aroma kota tua mulai terasa, dijamu dengan rumah-rumah tua dan sejejeran
toko-toko klasik yang terus dilestarikan.
Malaka
mempunyai begitu banyak aset sejarah yang dilestarikan, kota yang pernah dikuasai
oleh Portugis, Belanda dan Inggris ini penuh dengan
bangunan-bangunan kuno, benteng-benteng peninggalan portugis dan gereja-gereja tua yang berarsitektur kuno serta banyak lagi lainnya. Hal ini mengundang begitu banyak turis baik lokal maupun internasional untuk datang berkunjung ke kota yang penuh dengan kejayaan di masa silam ini.
bangunan-bangunan kuno, benteng-benteng peninggalan portugis dan gereja-gereja tua yang berarsitektur kuno serta banyak lagi lainnya. Hal ini mengundang begitu banyak turis baik lokal maupun internasional untuk datang berkunjung ke kota yang penuh dengan kejayaan di masa silam ini.
Disebelah
barat sungai terdapat kota tua yang penghuninya didominasi orang-orang china
(china Town). Segala atribut china memenuhi kota itu, saya menyewa sepeda untuk
menyusuri kota tersebut. Mulai dari asesories, pakaian, makanan sampai
barang-barang antik dijual disini, ini membawa saya seperti hidup dijaman Laksamana
Cheng Ho.
Keesokan paginya saya kembali menjelajahi Malaka tetapi hari
ini saya menjejakkan kaki di bagian Kota yang dinamakan Herritage City, Sebuah
gereja dengan arsitektur kuno dan berwarna merah bata menarik perhatian saya.
Ini adalah Christ Chruch Melaka,
gereja yang dibangun 1753 oleh Belanda.
Wisatawan
memenuhi area ini untuk mengabadikan foto-foto mereka. Hasrat saya tidak
berhenti sampai disini, saya mencoba mendaki sebuah bukit yang di atasnya
terdapat sebuah gereja merangkap benteng yang di bangun oleh bangsa Portugis yang
di namai "Our Lady of The Hill",
dibangun pada tahun 1521 oleh kapten portugis bernama Duarte Coelho, dan pada
masa kedudukan Belanda benteng ini diganti namannya menjadi “ST Paul”. Kaki saya terus melangkah
kedalam menyusuri setiap bagian benteng tersebut dan membuat saya seakan masuk
dalam labirin waktu membayangkan sejarah yang ditulis oleh H. Mohammad Said didalam
bukunya yang berjudul “Aceh Sepanjang
Abad I”, tentang heroiknya pasukan Aceh menyerang Kota Malaka pada tahun
1629 yang pada saat itu dikuasai oleh Portugis. Kota Malaka dibelah oleh Sungai
Malaka yang merupakan urat nadi kota pada masa itu, dari sinilah pasukan Aceh
masuk menyerbu. Pasukan Portugis menunggu di sebuah benteng pertahanan terluar
dengan nama St John. Tetapi pertahanan
ini tidak berlangsung lama, pasukan Aceh berhasil menaklukannya dengan waktu
yang singkat. Pasukan Portugis mundur dan menuju ke pertahanan kedua yaitu
sebuah gereja yang dinamakan “Madre de
Dios” yang berada pada posisi yang strategis
yaitu diatas sebuah bukit kota Malaka. Gereja ini dibangun pada tahun 1581. Pasukan
Aceh terus menyerang dan menembaki tanpa henti, semangat peperangan semakin
besar.
Disisi lain Portugis terus mempertahankan Mandre de Dios, tetapi pertahanan ini berlangsung
selama dua bulan dan pasukan Aceh berhasil menaklukannya. Pasukan Portugis lari
kocar-kacir menuju ke pertahanan terakhir yaitu sebuah Gereja kebanggaan
Portugis yang diberi nama Sint Paul’s
Hill (St. Paul). Gereja ini berada diatas bukit tertinggi di kota Malaka, bukit
ini bernama bukit Cina. Pasukan Aceh melakukan pengepungan selama
berbulan-bulan. Benteng-benteng kayu dikaki bukit dibuat dengan sangat kuat
oleh pasukan Aceh yang merupakan tempat berasalnya meriam-meriam Aceh
menghantam pertahanan Portugis dengan tidak henti-hentinya.
Tetapi
rupanya Portugis telah siap bertahan untuk waktu yang cukup lama, didalam
Gereja telah dipersiapkan bahan makanan dengan jumlah yang banyak. Pasukan Portugis
terus bertahan sambil menunggu bala bantuan. Pada masa itu Kerajaan Pahang bersekongkol
dengan Portugis. Pasukan Aceh yang dipimpin Orang Kaya Laksamana, lengah untuk
menjaga pertahanan dari sisi laut. Dari sinilah pasukan kerajaan Pahang masuk
dan menyerang yang selanjutnya di susul dengan bala bantuan Portugis dari Goa. Pasukan Aceh luluh lantak, korban berjatuhan.
Orang kaya laksamana berhasil ditangkap, kapal-kapal Aceh dirampas oleh
Portugis.
Saya terus mencari informasi-informasi mengenai Aceh di kota
Malaka, tetapi hanya satu informasi tentang Aceh yang saya dapati, yaitu
disebuah museum yang berbentuk berbentuk kapal Portugis “Flora De La Mar” yang datang untuk menjajah kota malaka pada
tahun 1511. dengan besar hampir menyerupai Aslinya yang dinamai
“Museum Samudera”. Didalam museum
itulah terdapat miniatur kapal Aceh disertai keterangan dalam bahasa Melayu dan
Inggris :
Kapal
ACHEH. “Pulau Sumatera telah lama
terlibat dengan aktiviti perdagangan dan perkapalan Srivijaya merupakan empayer
perdagangan laut yang terkenal di alam Melayu. Kerajaan Samudera Pasai dan
Acheh meneruskan tradisi berkenaan. Teknik menghasilkan pelbagai jenis kapal
turut berkembang. Albuquerque dalam perjalanannya ke Melaka telah menemui kapal
dari Pasai dan begitu tertarik dengan kekukuhannya. Kesultahan Acheh mejadi
pusat yang terbilang terbaik disebalik persaingan orang Portugis. Ia berdagang
dengan pelbagai tempat termasuk India dan Asia Barat. Orang Portugis sering
menemui angkatan perang Acheh diselat Melaka. Dalam Tahun 1620, Acheh
melancarkan serangan terhadap Melaka melibatkan ratusan kapal. Setalah Belanda
berkuasa dirantau ini, kuasa Orang Acheh menjadi lemah termasuk bidang
perkapalan. Model yang dipamerkan ini adalah kapal dagang Acheh yang dilengkapi
dengan meriam panjang untuk mempertahankannya. Kapal ini mempunyai lunas yang
kecil dengan papan lebar yang disusun rapi membentuk ruang badan kapal bagi
membawa muatan yang banyak. Tiga tiang dengan layar persegi mengawal
pergerakannya. Ia mempunyai sauh yang diperbuat daripada kayu dibagian haluan
dan kabin di buritannya. Kapal Aceh ini berukuran antara 80-100 kaki dan
tingginya 10 kaki. Ia berlayar sepanjang Selat Malaka sehingga Pulau Makassar
(Celebes).”
Banyak inspirasi yang saya peroleh dari perjalanan ini,
Pertama tentu saja rasa bangga yang membuncah mengenang kegagahan indatu
menentang kolonialis demi mempertahankan marwah agama dan bangsa. Sebuah pelajaran
berharga bagi generasi sekarang.
Kedua,
di masa lalu, Malaka dan Aceh pada satu masa dahulu pernah sama-sama menjadi
pusat perdagangan dan penyebaran Islam di Asia Tenggara, Namun saat ini Malaka
jauh lebih baik dalam melestarikan warisan sejarahnya, bahkan Sejak 7 Juli 2008, Malaka dinobatkan oleh
UNESCO sebagai Kota Warisan Dunia. Malaka juga menjadi destinasi wisata utama
di Malaysia.
Semoga
Pemerintah Aceh juga mampu mengikuti langkah kota Malaka dalam pelestarian
warisan budaya dan pengembangan wisata
sejarah keuneubah indatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar