26 Mei 2013

Aceh - Malaka

Telah lama saya mendengar tentang sejarah Aceh-Malaka, dan kini keinginan untuk melihat kota taklukan Indatu Raja Iskandar Muda telah tak terbendung. Perjalanan dari Kuala Lumpur ke Malaka saya lalui dengan menggunakan bus yang memakan waktu dua jam perjalanan. Pada saat memasuki kota ini aroma kota tua mulai terasa, dijamu dengan rumah-rumah tua dan sejejeran toko-toko klasik yang terus dilestarikan.
Malaka mempunyai begitu banyak aset sejarah yang dilestarikan, kota yang pernah dikuasai oleh Portugis, Belanda dan Inggris ini penuh dengan
bangunan-bangunan kuno, benteng-benteng peninggalan portugis dan gereja-gereja tua yang berarsitektur kuno serta banyak lagi lainnya. Hal ini mengundang begitu banyak turis baik lokal maupun internasional untuk datang berkunjung ke kota yang penuh dengan kejayaan di masa silam ini.
Disebelah barat sungai terdapat kota tua yang penghuninya didominasi orang-orang china (china Town). Segala atribut china memenuhi kota itu, saya menyewa sepeda untuk menyusuri kota tersebut. Mulai dari asesories, pakaian, makanan sampai barang-barang antik dijual disini, ini membawa saya seperti hidup dijaman Laksamana Cheng Ho.
Keesokan paginya saya kembali menjelajahi Malaka tetapi hari ini saya menjejakkan kaki di bagian Kota yang dinamakan Herritage City, Sebuah gereja dengan arsitektur kuno dan berwarna merah bata menarik perhatian saya. Ini adalah Christ Chruch Melaka, gereja yang dibangun 1753 oleh Belanda.
Wisatawan memenuhi area ini untuk mengabadikan foto-foto mereka. Hasrat saya tidak berhenti sampai disini, saya mencoba mendaki sebuah bukit yang di atasnya terdapat sebuah gereja merangkap benteng yang di bangun oleh bangsa Portugis yang di namai "Our Lady of The Hill", dibangun pada tahun 1521 oleh kapten portugis bernama Duarte Coelho, dan pada masa kedudukan Belanda benteng ini diganti namannya menjadi “ST Paul”. Kaki saya terus melangkah kedalam menyusuri setiap bagian benteng tersebut dan membuat saya seakan masuk dalam labirin waktu membayangkan sejarah yang ditulis oleh H. Mohammad Said didalam bukunya yang berjudul “Aceh Sepanjang Abad I”, tentang heroiknya pasukan Aceh menyerang Kota Malaka pada tahun 1629 yang pada saat itu dikuasai oleh Portugis. Kota Malaka dibelah oleh Sungai Malaka yang merupakan urat nadi kota pada masa itu, dari sinilah pasukan Aceh masuk menyerbu. Pasukan Portugis menunggu di sebuah benteng pertahanan terluar dengan nama St John. Tetapi pertahanan ini tidak berlangsung lama, pasukan Aceh berhasil menaklukannya dengan waktu yang singkat. Pasukan Portugis mundur dan menuju ke pertahanan kedua yaitu sebuah gereja yang dinamakan “Madre de Dios  yang berada pada posisi yang strategis yaitu diatas sebuah bukit kota Malaka. Gereja ini dibangun pada tahun 1581. Pasukan Aceh terus menyerang dan menembaki tanpa henti, semangat peperangan semakin besar.
Disisi lain Portugis terus mempertahankan Mandre de Dios, tetapi pertahanan ini berlangsung selama dua bulan dan pasukan Aceh berhasil menaklukannya. Pasukan Portugis lari kocar-kacir menuju ke pertahanan terakhir yaitu sebuah Gereja kebanggaan Portugis yang diberi nama Sint Paul’s Hill (St. Paul). Gereja ini berada diatas bukit tertinggi di kota Malaka, bukit ini bernama bukit Cina. Pasukan Aceh melakukan pengepungan selama berbulan-bulan. Benteng-benteng kayu dikaki bukit dibuat dengan sangat kuat oleh pasukan Aceh yang merupakan tempat berasalnya meriam-meriam Aceh menghantam pertahanan Portugis dengan  tidak henti-hentinya.
Tetapi rupanya Portugis telah siap bertahan untuk waktu yang cukup lama, didalam Gereja telah dipersiapkan bahan makanan dengan jumlah yang banyak. Pasukan Portugis terus bertahan sambil menunggu bala bantuan. Pada masa itu Kerajaan Pahang bersekongkol dengan Portugis. Pasukan Aceh yang dipimpin Orang Kaya Laksamana, lengah untuk menjaga pertahanan dari sisi laut. Dari sinilah pasukan kerajaan Pahang masuk dan menyerang yang selanjutnya di susul dengan bala bantuan Portugis dari Goa.  Pasukan Aceh luluh lantak, korban berjatuhan. Orang kaya laksamana berhasil ditangkap, kapal-kapal Aceh dirampas oleh Portugis.
Saya terus mencari informasi-informasi mengenai Aceh di kota Malaka, tetapi hanya satu informasi tentang Aceh yang saya dapati, yaitu disebuah museum yang berbentuk berbentuk kapal Portugis “Flora De La Mar” yang datang untuk menjajah kota malaka pada tahun 1511. dengan besar hampir menyerupai Aslinya yang dinamai “Museum Samudera”. Didalam museum itulah terdapat miniatur kapal Aceh disertai keterangan dalam bahasa Melayu dan Inggris :
Kapal ACHEH. “Pulau Sumatera telah lama terlibat dengan aktiviti perdagangan dan perkapalan Srivijaya merupakan empayer perdagangan laut yang terkenal di alam Melayu. Kerajaan Samudera Pasai dan Acheh meneruskan tradisi berkenaan. Teknik menghasilkan pelbagai jenis kapal turut berkembang. Albuquerque dalam perjalanannya ke Melaka telah menemui kapal dari Pasai dan begitu tertarik dengan kekukuhannya. Kesultahan Acheh mejadi pusat yang terbilang terbaik disebalik persaingan orang Portugis. Ia berdagang dengan pelbagai tempat termasuk India dan Asia Barat. Orang Portugis sering menemui angkatan perang Acheh diselat Melaka. Dalam Tahun 1620, Acheh melancarkan serangan terhadap Melaka melibatkan ratusan kapal. Setalah Belanda berkuasa dirantau ini, kuasa Orang Acheh menjadi lemah termasuk bidang perkapalan. Model yang dipamerkan ini adalah kapal dagang Acheh yang dilengkapi dengan meriam panjang untuk mempertahankannya. Kapal ini mempunyai lunas yang kecil dengan papan lebar yang disusun rapi membentuk ruang badan kapal bagi membawa muatan yang banyak. Tiga tiang dengan layar persegi mengawal pergerakannya. Ia mempunyai sauh yang diperbuat daripada kayu dibagian haluan dan kabin di buritannya. Kapal Aceh ini berukuran antara 80-100 kaki dan tingginya 10 kaki. Ia berlayar sepanjang Selat Malaka sehingga Pulau Makassar (Celebes).”
Banyak inspirasi yang saya peroleh dari perjalanan ini, Pertama tentu saja rasa bangga yang membuncah mengenang kegagahan indatu menentang kolonialis demi mempertahankan marwah agama dan bangsa. Sebuah pelajaran berharga bagi generasi sekarang.
Kedua, di masa lalu, Malaka dan Aceh pada satu masa dahulu pernah sama-sama menjadi pusat perdagangan dan penyebaran Islam di Asia Tenggara, Namun saat ini Malaka jauh lebih baik dalam melestarikan warisan sejarahnya, bahkan  Sejak 7 Juli 2008, Malaka dinobatkan oleh UNESCO sebagai Kota Warisan Dunia. Malaka juga menjadi destinasi wisata utama di Malaysia.
Semoga Pemerintah Aceh juga mampu mengikuti langkah kota Malaka dalam pelestarian warisan budaya  dan pengembangan wisata sejarah keuneubah indatu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Delete this element to display blogger navbar